Awal mula ilmu
tersebut, hanya untuk bangsa Hindu, tidak terkecuali Bangsa Hindu yang beragama
apa saja akan bisa melakukan Samadhi.
Sebab hanyalah Ilmu
Samadhi (Tafakur) ini saja yang menjadi pembuka ilmu di seluruh dunia, dan juga
menjadi ujung tombak dalam Ilmu Agama.
Lama-kelamaan Bangsa
Hindu merantau ke Tanah Jawa dan ke berbagai negara lain, serta juga
mengajarkan Agama dan ilmu yang dianutnya.
Demikian Juga Ilmu
Samadhi juga tidak ketinggalan. Imu Samadhi di Tanah Jawa bisa berkembang
dengan subur, sebab masyarakat Jawa tidak pilih-pilih ilmu, dan juga orang Jawa
senang berguru dan bisa menjalankan dengan sempurna ilmu apa saja yang masuk ke
Tanah Jawa.
Sebab ilmu yang
demikian bisa selaras dengan dasar jiwa orang Jawa, sehingga orang jawa dengan
mudahnya bisa menerima ilmu tersebut.
Ditambah juga dengan
banyak nya orang Hindu yang pergi ke tanah Jawa, dengan tujuan berdagang,
menyebarkan Agama dan juga ilmu bijaknya. Sekejab saja hampir semua orang Jawa
di masa itu, memeluk Agama Hindu.
Kemudian disusul
dengan datangnya Bangsa Arab ke tanah Jawa, yang juga dengan membawa Ilmu dan
Agama Nabi Muhammad, saw.
Yaitu Agama Islam,
sehingga sedikit mengurangi perkembangan Agama Hindu, sebab, banyak juga orang
Jawa yang memeluk Agama Islam. Hanya saja, Agama Islam tidak punya Ilmu
Samadhi, sebagaimana tersebut di atas.
Ketika Islam telah
berkuasa dengan berhasil mendirikan Kerajaan Demak (Bintara), kemudian Negara
melarang orang Jawa untuk menyebar luaskan Ilmu Samadhi, demikian juga dipaksa
berganti agama untuk memeluk Agama Islam.
Namun, tidak semua
orang Jawa mau masuk untuk memeluk Agama Islam. Walaupun telah memeluk Agama
Islam, namun tidak sepenuhnya menjalan Syariatnya, hanya sebatas karena takut
pada hukuman raja saja.
Sehingga Agama Islam
yang dianut hanya sebatas luar atau di lahir saja. Dalam jiwa dan batin mereka,
masih tetap beragama Hindu.
Sehingga Ilmu Samadhi
masih tetap dijalankan, hanya saja dengan cara sembunyi-sembunyi, dan dilakukan
pada malam hari di atas jam 12 malam.
Sedangkan tempat
untuk bertapa di tempat yang tidak terhalang apapun, yaitu di tempat terbuka
yang luas, seperti di dalam hutan, di sungai dan sebagainya, asal saja tempat
yang benar-benar sepi.
Diajarkan dengan cara
bisikan, tidak boleh terdengar oleh siapapun, walaupun oleh dedaunan, rumput,
hewan dan juga hewan kecil yang merayap di tanah juga tidak boleh mendengar.
Jika ikut mendengar
maka mereka yang mendengar akan berubah menjadi manusia. Sehingga diajarkan
dengan cara, Guru duduk berhadapan dengan cara beradu dahi dengan murid, dan
guru berpesan bahwa apa yang diajarkan tidak boleh diberitahukan kepada
siapapun juga, tanpa ijin dari sang guru.
Jika di langgar, maka
sang murid akan mendapat celaka karena akan mendapat hukuman dari Tuhan.
Cara yang demikian
bertujuan agar ajaran Ilmu Samadhi (Yoga) tidak bisa di ketahui oleh Pemerintah
yang berpedoman pada ajaran Agama Islam, sebab apabila sampai ketahuan, akan
mendapat hukuman yang sangat berat.
Sampai dengan jaman sekarang, walaupun negara
sudah tidak melarang dengan adanya Ilmu Samadhi (yoga), namun cara menyebar
luaskan ajaran tersebut, masih tetp sama dengan cara sembunyi-sembunyi seperti
di jelaskan di atas.
Sehingga mendapat
julukan oleh orang yang tidak suka ajaran tersebut, atau oleh orang yang
beragama Islam, bahwa ajaran Ilmu Samadhi (yoga) tersebut disebut Ilmu Klenik.
Berasal dari kata “Klenik” sehingga di tanah Jawa ada sebutan “Abangan” dan
“Putihan” (merah dan putih).
Yang diberi julukan
“Abangan” adalah orang jawa Islam yang tidak menjalankan Syariat Agama Islam,
sedangkan “Putihan” adalah sebutan bagi orang jawa yang menjalankan sepenuhnya
Syariat Agama Islam, disebut Santri.
Sehingga Santri
disebut juga “Putihan” sebab pada umumnya pakaian yang digunakan oleh Santri yang
ber Agama Islam, itu lebih bersih di banding dengan orang Jawa yang tidak ber
Agama Islam.
Kembali kepada Ilmu
Samadhi (yoga), bahwa disebut Ilmu Rahasia di karenakan seperti keterangan
tersebut di atas.
Sedangkan yang
sesungguhnya nama Ajaran Rahasia itu, sebetulnya tidak ada. Sehinga boleh-boleh
saja di ajarkan kepada siapa saja, baik kepada yang muda atau juga kepada yang
sudah berumur tua, dan juga boleh diajarkan sewaktu-waktu kapan saja, apabila
ada seseorang yang benar-benar sangat membutuhkan Ilmu Samadhi (Yoga) tersebut.
Sebab, tata cara yang
demikian itu, agar ajaran tersebut bisa diketahui oleh orang banyak,
lebih-lebih bahwa Ilmu Samadhi (Yoga) tersebut ternyata menjadi pemuka dari
semua Ilmu,
sehingga wajib
disebar luaskan agar menjadi pengetahuan bagi generasi muda ataupun juga yang
sudah tua, tanpa melihat tinggi rendah dari martabat dan derajat seseorang.
Tibalah pada suatu masa, ada cerita kejadian
yang tidak di sangka-sangka, di belakang hari Ilmu Samadhi (Yoga) tersebut bisa
di terima oleh orang Islam,
sebab mereka percaya
bahwa Ilmu Samadhi (Yoga) tersbut, memang benar sebagai puncak ilmu yang bisa
menghantarkan kepada keselamatan, kehormatan, ketenteraman dan sebagainya.
Sehingga Ilmu Samadhi
(yoga) tersebut oleh se orang yang telah terbuka pintu hatinya dengan
kebenaran, yang bernama “Shech Sitijenar” atau Syech Lemah Abang, yang nama
aslinya “San Ali Ansar” ada juga yang menyebut “Kasan Ali Ansar”,
Yang kedudukan
tingkat ilmunya juga sebagai Pemuka Agama setingkat Wali, kemudian digubah oleh
nya di kitab buatannya yang disebut “Daim”, mengambil dari asal kata “Daiwan” ,
Yang kemudian
digunakan sebagai tata cara dalam melakukan ibadah, dengan cara dirobah susunan
katanya, menjadi : “Sholat Daim” (Sholat yang tiada terputus).
Sehingga oleh ajaran
Syech Sitijenar Sholat terbagi menjadi dua, yaitu Sholat 5 waktu, disebut
Sholat Syariat, Sholat lahir. Yang ke dua Sholat Daim.
Sholat ini adalah Sholat di dalam batin, mengandung
maksud juga menyatukan rasa diri pribadi dengan Tuhan atau dalam Bahasa Jawa
disebut “Manunggaling Kawula Gusti”, atau “Loroning Atunggal” (Dua menjadi
satu).
Kitab buatan Syech
Sitijenar kemudian digunakan sebagai pedoman dalam ajaran tersebut.
Setelah berhasil
mendapat perhatian oleh orang banyak, di situ Sholat 5 waktu dan Syariat Agama
Islam oleh pengikut Syech Sitijenar, ajaran nya banyak yang ditinggalkan
ataupun tidak di ajarkan lagi.
Perhatian para
penyebar Ilmu murid Syech Sitijenar hanya mengajarkan Sholat Daim saja.
Sehingga orang jawa yang semula sudah memeluk Agama Islam terlebih lagi yang
belum, semua condong dan berguru kepada Syech Sitijenar, sebab ajarannya lebih
mudah, terang dan nyata.
Sedangkan Ilmu
Samadhi yang dikembangkan oleh Syech Sitijenar berasal dari Kyai Ageng
Pengging, sebab Syech Sitijenar adalah masih saudara dari Kyai Ageng Penging.
Ilmu Samadhi (Yoga)
oleh Syech Sitijenar diajarkan kepada “Raden Watiswara” juga bernama “Pangeran
Panggung”, yang juga dia mempunyai derajat Wali.
Kemudian diajarkan
kepada “Sunan Geseng”, yang juga bernama “Ki Cakrajaya” yang berasal dari
daerah “Pagelen”.
yang dalam cerita
ketika dia belum menjadi Wali, mempunyai pekerjaan “nderes” mengambil air sari
bunga pohon kelapa untuk dibuat menjadi Gula Kelapa. Kemudian olehnya diajarkan
kepada orang banyak .
Demikian juga para
sahabat Syech Sitijenar yang telah terbuka hatinya oleh ajaran Syech Sitijenar
disuruh mendirikan perguruan untuk menyebarkan Ilmu Samadhi tersebut.
Semakin lama semakin
banyak dan berkembang, sehingga berhasil menyaingi bahkan melemahkan kekuasan
Wali yang lain dalam hal menyebarkan
Ilmu Agama Islam, sehingga banyak masjid yang kosong.
Untuk menanggulangi
keadaan yang demikian agar tidak semakin berkembang luas, maka Kyai Ageng
Pengging dan juga Syech Sitijenar beserta pengikutnya semuanya di hukum pancung
oleh para Wali yang mendapat perintah dari Sultan Demak.
Demikian juga
Pangeran Panggung tidak ketinggalan pula, di hukum dengan cara dibakar di
tengah alun-alun Demak, untuk dijadikan contoh agar supaya orang-orang dan para
pengikutnya menjadi takut, dengan harapan supaya bersedia meninggal ajaran
Syech Sitijenar.
Dalam cerita
tersebut, tubuh Pangeran Panggung tidak bisa terbakar api, kemudian dia keluar
dari dalam api dan meninggalkan kerajaan Demak.
Ada salah satu kisah
cerita bahwa, pada saat Pangeran Panggung sedang berada di dalam api, Pangerang
panggung mengarang Kitab yang diberi nama “Suluk Malang Sumirang”. 20 Bait
Tembang Macapat yang termuat di dilam buku "Suluk Walisana" Karangan
Sunan Giri ke II (Jenis lagu Jawa).
Sebelum meninggalkan
Demak, buku itu diserahkan kepada Raja Demak. Dan pada saat Pangeran Panggung
pergi meninggalkan api, Sultan Bintara dan para punggawa kerajaan, beserta para
Wali, kalah wibawa oleh kesaktian Pangeran Panggung, sehingga termangu dan
tidak bisa berbuat apa-apa bagaikan tersihir.
Setelah Pangeran
Panggung pergi jauh, barulah Sultan Demak dan para Wali sadar bahwa Pangeran
Panggung selamat dari hukuman bakar.
Sehingga mereka
merasa kalah oleh kesaktian Pangeran Panggung, yang mendapat Anugrah kasih
sayang dari Tuhan.
Kemudian datang
Punggawa kerajaan melapor bahwa Sunan Geseng atau Cakrajaya pergi juga menyusul
langkah Pangeran Panggung.
Kemudian setelah
sadar, barulah muncul kemarahan Sultan Demak, sehingga kemudian menyuruh
prajuritnya untuk membunuh sahabat dan semua murid Syech Sitijenar yang telah
berhasil ditangkap, sedangkan yang tidak tertangkap melarikan diri mencari
selamat.
Para sahabat dan murid
Syech Sitijenar yang masih hidup di dalam pelariannya, kemudian mendirikan
Perguruan dan terus melestarikan ajaran “Ilmu Samadhi”, namun dengan cara
ditutupi dengan ajaran Syariat Islam seperti pada umumnya,
Agar tidak di ganggu
ataupun dilarang oleh para Wali pembela Kerajaan Demak. Sedangkan isi
ajarannya, sebagai berikut :
Cara pengajaran Ilmu
Samadhi yang kemudian disebut Sholat Daim dibarengi dengan pengajaran Sholat 5
waktu, juga rukun Islam lainnya.
Ajaran Sholat Daim
kemudian diberi nama Naksobandiyah, sedangkan isi ajaran diberi nama “Tafakur”.
Cara yang lain, tata
cara dalam cara mengajarkan ilmu tersebut,
sebelum para murid diberi ajaran Sholat Daim, terlebih dahulu para murid
dilatih menjalankan beberapa macam jenis dzikir dan juga membaca ayat-ayat
suci.
Sejak saat itu Ajaran
Ilmu Samadhi, ada dua macam yaitu :
1.
Ilmu
Samadhi yang sesuai dengan ajaran yang diajarkan oleh para murid Syech
Sitijenar yang ditutupi atau oleh ajaran Rukun Islam.
Ajaran tersebut pada
jaman selanjutnya mengalami perubahan karena tidak sesuai lagi dengan ajaran
pada awal ilmu itu ada.
Sehingga para guru
pada jaman sekarang dalam menyampaikan pengajaran Ilmu Samadhi, yang telah
berganti nama menjadi Naksobandiyah dan juga Satariyah, mengira bahwa ilmu tersebut
perasal dari Jabalkuber atau Mekah, walaupun Ajaran Naksobandiyah dan Satariyah
yang asli itu ada, dan cara pengajarannya tidak sama seperti tersebut di atas.
Sehingga para Kyai
guru Agama Islam, memberi julukan Guru Klenik kepada para guru yang mengajarkan
Ilmu Samadhi yang berpedoman pada ajaran Jawa yang bersumber dari ajaran Syech
Sitijenar, dan Para Kyai Guru tersebut memberi julukan nama “Kiniyai” mengandung
maksud Guru yang mengajarkan ilmu setan.
0 Response to "Tata cara “Samadhi” (Yoga), Bertapa/Tafakur Dalam Ilmu Jawa"
Posting Komentar