Kata Samadhi = Satu
rasa = memusatkan rasa = rasa jati = rasa ketika rasa belum bekerja. Sedangkan
berjalannya rasa disebabkan oleh hasil pengalaman-pengalaman yang diterima atau
kejadian-kejadian yang di terima dalam hidup sehari-hari. Itulah kerja rasa
yang disebut berfikir.
Berasal dari kekuatan
ilmu, pengalaman, dan peristiwa hidup sehari-hari, sehinga Pikiran manusia bisa
menganggap baik dan buruk, yang bisa menjadi penyebab Tata cara, tindakan,
sikap, dan sebagainya, yang kemudian akan menjadi kebiasaan.
Sedangkan anggapan
tentang baik dan buruk, yang telah menjadi kebiasaan tersebut, apa bila buruk
memang benar-benar buruk, dan apabila biak, memang benar-benar baik, itu
sebetulnya belum tentu benar.
Hal ini karena hanya
disebabkan oleh kebiasaan cara berfikir saja, atau anggapan diri sendiri saja.
Anggapan yang demikian, tidak mesti benar, tetap hanya sebatas kebiasaan tata
cara berfikir saja, sehingga hal itu bukan yang sebenarnya.
Sedangkan maksud dan
tujuan Samadhi, adalah bertujuan untuk mengetahui dan memahami kenyataan yang
sebenar-benarnya (Kajaten).
Sedang tata cara nya
adalah dengan memahami dan menghilangkan segala anggapan dari kekuatan daya
pikir sendiri, disebut hilangnya tempat dan tulisan (Sirnaning papan lan
tulis).
Setelah berhasil
menguasai daya pikir yang demikian, maka itu ujud rasa yang sesungguhnya rasa
(rasa jati) yang bisa mengetahui segala sesuatu tanpa petunjuk (Dalam bahasa
Jawa disebut "Tanpa Tinulis bisa dibaca").
Sedangkan hal
demikian akan bisa dicapai dengan cara menghentikan segala pengaruh gerak
pikiran, dengan cara mengendalikan segala gerak anggota badan.
Mengendalikan
pengaruh dari gerakan badan yang paling
maksimal adalah dengan cara tidur terlentang, tangan bersedakep melipat
kedua tangan atau kedua tangan diluruskan,
kedua telapak tangan
ditempelkan di kedua paha kanan dan kiri, kaki diluruskan, telapak kaki yang
kanan di atas telapak kaki kiri, sikap yang demikian disebut “Sidakep saluku
tunggal”, (Bersidakep berkaki satu). Dan juga memusatkan pandangan atau
menghentikan gerak mata.
Tindakan demikian
disebut “Meleng” (Memusatkan mata). Sikap demikian akan bisa mengendalikan
gerak pikiran, serta mengendalikan gerak rasa, sedangkan pusat titik mata di
arahkan dan di pusatkan memandang ujung hidung dengan menyatukan dua titik
pandangan mata menjadi satu, dengan cara memejamkan kedua mata.
Langkah selanjutnya
adalah menata keluar masuknya nafas, dengan cara mengendalikan jalannya nafa.
Dimulai nafas
berjalan dari puser perut, di tarik ke atas melewati pangkal mulut Cethak) terus di naikan ke atas hingga masuk
ke dalam otak, kemudian di tahan semampunya di dalam otak.
Dalam melakukan
tarikan nafas yang demikian, dilakukan sampai dengan badan merasa tidak punya
daya kekuatan untuk mengangkat apapun, sedangkan yang di kendalikan adalah jalannya
rasa.
Apabila telah terasa
berat dalam menahan nafas, kemudian nafas dilepaskan dengan perlahan-lahan.
Sikap yang demikian yang disebut Sastracetha. Arti dari “Cetha” = penempatan
ilmu, “Cetha” = Suara Cethak (pangkal mulut) yang berat.
Disebut demikian,
sebab ketika sedang melakukan tarikan nafas dari pusat perut melewati dada
terus naik melewati cethak (pangkal mulut) sampai masuk ke pusat otak.
Apabila jalan nya
pernafasan tidak di kendalikan, maka nafas hanya akan mengikuti jalan nafas
sendiri saja, cara nafas yang demikian tidak akan sampai naik masuk ke dalam
otak, sebab nafas baru sampai di pangkal mulut (cethak) akan turun kembali dan
keluar lagi.
Langkah demikian
disebut juga “Daiwan” (dawan), maksudnya : Mengendalikan perjalan nafas yang
panjang dan dengan tenang, dengan mengucapkan mantra di dalam batin, yaitu yang
berbunyi “Hu” bersama dengan masuknya nafas, yang berjalan dari puser, cethak
sampai ke pusat otak.
Kemudian mengucapkan
“ya” bersama sama saat melepaskan nafas yang berjalan dari pusat otak – cetahk
– sampai ke perut. Naik dan turun nya perjalanan nafas akan selalu melewati
dada dan cethak.
Hal demikian disebut
“Sastracetha” sebab, ketika mengucapkan mantra sastra dua macam : Hu – ya, yang
hanya di batin saja, akan terasa di dalam cethak (pangkal mulut). (Mantra dua
macam tersebut,
Hu dan Ya, di dalam
ajaran Naksobandiyah dirubah menjadi berbunyi : Hu – Allah, menyebutnya juga
bersamaan dengan perjalanan nafas. Sedangkan dalam ajaran Satariyah sebutan
tersebut , menjadi : Ha ilah Ha illalloh, namun tidak digabung dengan
pernafasan).
(Sedikit tambahan
penyunting : Pada saat melakukan pernafasan demikian, usahakan mengendurkan
urat wajah se rilex-rilex nya atau sesantai mungkin, dibarengi seolah-olah
tersenyum, dan mengendurkan urat otak se santai santainya, dan yang
terpenting...
Jangan dibarengi
menelan ludah – penyunting hanya sebatas belajar yoga dan sangat bermanfaat
ketika sedang menghadapi problim kehidupan).
Kebiasaan yang biasa
terjadi, dalam melakukan pernafasan dengan cara demikian, dalam satu angkatan
bernafas hanya mampu mengulang sebanyak 3 kali pernafasan, biasanya sudah
terengah-engah.
Apabila sudah tenang,
maka di ulang lagi. Tindakan demikian dilakukan berulang-ulang, hingga jika
semakin lama dan makin banyak dilakukan, akan semakin baik.
Sedangkan dalam satu
kali angkatan tindakan yang demikian disebut : “Tri pandurat” yang artinya
“Tri” = tiga; “Pandu” = suci; “Rat” = Dunia = tubuh = tempat, yang bermakna
juga : Tiga kali tarikan nafas, maka itu berarti telah bisa sampai di hadapan
Yang Maha Suci yang bertempat di dalam otak (Susuhunan = yang di suwun) tempat
permohonan.
Yaitu yang disebut
“Kawula Gusti”, maksudnya : Ketika kita menarik nafas , kita sebagai ibarat
Gusti (Tuhan); dan ketika melepas nafas, kita kembali sebagai “Kawula”
(makhluk). Hal yang demikian, diharapkan para pembaca tidak salah menafsirkan.
Bahwa yang disebut
“Kawula Gusti” (Makhluk dan Tuhan), itu bukan nafas kita, namun hanya daya
kekuatan dari pikiran dan cipta kita.
Sehingga, dalam inti
melakukan Samadhi adalah kita harus dengan cara memanjangkan masuk dan
keluarnya nafas, dengan menjernihkan penglihatan, sebab penglihatan adalah
terjadi dari pengaruh rasa.
Sedangkan sikap
Samadhi, seperti yang telah di jelaskan di atas, juga bisa dengan jalan di
percepat, asal dilakukan dengan cara tidak terputus dalam mengendalikan
jalannya pernafasan,
Bisa dilakukan pada
saat duduk, berjalan ataupun pada saat bekerja, juga sebaiknya dalam melakukan
pernafasan dengan cara tersebut, dengan jalan mengucapkan mantra yang berbunyi
: “Hu –Ya” seperti dijelaskan sebelumnya...ataupun juga bisa diganti sesuai
dengan keyakinan nya masing-masing.
Selain itu, berdasar
kata daiwan, juga masih mempunyai arti yang lain, yaitu panjang tidak berujung
atau bermakna langgeng, yang mempunyai maksud bahwa nafas kita adalah sebagai
tanda hidup tiap diri pribadi.
Sedangkan bahwa nafas
itu ada, ditandai dengan adanya keluar dan masuk nya angin tanpa berhenti, yang
bersamaan juga dengan berjalannya detak jantung yang seiring juga dengan
perjalanan peredaran darah (Ruh).
Bahwa, apabila
keduanya berhenti tidak bekerja, maka disebut meninggal dunia, yaitu rusaknya
jasad manusia yang akan kembali kepada asalnya. Sehingga sebaiknya, dalam
bernafas diusahakan dipanjangkan juga, agar umur kita bisa panjang untuk hidup
di dunia.
Dengan adanya uraian
di atas, menunjukan bahwa Ilmu Samadhi, ternyata besar manfaatnya, sehingga
disebut juga “Sastrajendrayuningrat Pangruwating Diyu”. Artinya : “Sastra” =
Ilmu; “Jendra” = berasal dari kata Harja dan Endra. Artinya “Harja” = bahagia;
“Endra” = Raja; “Yu” = Selamat; “Ningrat” = Dunia = tempat = Badan, mengandung
maksud : Mustika dari ilmu yang bisa menyebabkan keselamatan hidup, kebahagia
an hidup, ketenangan hidup, dan lain sebagainya.
Sedangkan makna dari “Pangruwating Diyu” = menghancurkan diyu; sedangkan “Diyu” = Raksasa, Denawa, Asura, sebagai lambang dari Kejahatan, penyakit, kotoran, Bahaya, pikiran gelap, kebodohan, dan sebagainya.
Sedangkan makna dari “Pangruwating Diyu” = menghancurkan diyu; sedangkan “Diyu” = Raksasa, Denawa, Asura, sebagai lambang dari Kejahatan, penyakit, kotoran, Bahaya, pikiran gelap, kebodohan, dan sebagainya.
0 Response to "Tata Cara Samadhi Jawa "
Posting Komentar