Disebut juga “AJI
PAMELENG”; yang bermakna “Aji” = Ratu; “Pameleng” = Konsentrasi = Tapa –
Bertapa - Samadhi, mengandung maksud, sebuah niat yang paling utama untuk
bertapa atau Samadhi.
Bertapa – Samadhi,
disebut juga : Manekung, Tafakur, Pubarata, Mengendalikan Budi, mengendalikan
cipta, menenangkan raga, yoga, dan sebagainya.
Tempat untuk
menjalankan hal tersebut, dinamakan Pertapan, Pamurcitan, Pamursitan, dan lain
sebagainya.
Sedangkan teorinya
disebut “Daiwan”, dawan, tirta amerta, tirta kamandhanu, tirta nirmala,
mahosadi, kawasanan, kawaspadan, kawicaksanan, sastra cetha, ataupun
Sastrajendrayuningrat Pengruwating Diyu, dan lain sebagainya.
Sedangkan manfaat
ilmu Samadhi dan tindakan yang demikian, digunakan sebagai sarana
menyempurnakan dalam menjalankan Ibadah, agar mendapatkan keselamatan hidup,
Sebab bisa sebagai
sarana untuk bisa melakukan tindak laku utama dengan sempurna, dan juga bisa
digunakan sebagai sarana ketika diri ada hajat keperluan yang sangat penting
untuk memohon anugrah hidup kepada Tuhan Yang Maha Murah.
Sedangkan mengapa di
dunia ada ilmu tata cara bertapa (Yoga) Samadhi yang demikian, menurut dari
kata-kata tersebut, ternyata banyak yang berasal dari Bahasa Sansekerta.
Dengan demikian
terbukti bahwa Ilmu Samadhi, berasal dari ilmu para pertapa (Yogi) dari Hindu
India pada jaman dahulu.
Barangkali saja
bersamaan dengan ketika Bangsa Hindu membuat Candi-candi dan patung-patung pada
saat itu.
Awal mula ilmu
tersebut, hanya untuk bangsa Hindu, tidak terkecuali Bangsa Hindu yang beragama
apa saja akan bisa melakukan Samadhi.
Sebab hanyalah Ilmu
Samadhi (Tafakur) ini saja yang menjadi pembuka ilmu di seluruh dunia, dan juga
menjadi ujung tombak dalam Ilmu Agama.
Lama-kelamaan Bangsa
Hindu merantau ke Tanah Jawa dan ke berbagai negara lain, serta juga
mengajarkan Agama dan ilmu yang dianutnya.
Demikian Juga Ilmu
Samadhi juga tidak ketinggalan. Imu Samadhi di Tanah Jawa bisa berkembang
dengan subur, sebab masyarakat Jawa tidak pilih-pilih ilmu, dan juga orang Jawa
senang berguru dan bisa menjalankan dengan sempurna ilmu apa saja yang masuk ke
Tanah Jawa.
Sebab ilmu yang
demikian bisa selaras dengan dasar jiwa orang Jawa, sehingga orang jawa dengan
mudahnya bisa menerima ilmu tersebut.
Ditambah juga dengan
banyak nya orang Hindu yang pergi ke tanah Jawa, dengan tujuan berdagang,
menyebarkan Agama dan juga ilmu bijaknya. Sekejab saja hampir semua orang Jawa
di masa itu, memeluk Agama Hindu.
Kemudian disusul
dengan datangnya Bangsa Arab ke tanah Jawa, yang juga dengan membawa Ilmu dan
Agama Nabi Muhammad, saw.
Yaitu Agama Islam,
sehingga sedikit mengurangi perkembangan Agama Hindu, sebab, banyak juga orang
Jawa yang memeluk Agama Islam. Hanya saja, Agama Islam tidak punya Ilmu
Samadhi, sebagaimana tersebut di atas.
Ketika Islam telah
berkuasa dengan berhasil mendirikan Kerajaan Demak (Bintara), kemudian Negara
melarang orang Jawa untuk menyebar luaskan Ilmu Samadhi, demikian juga dipaksa
berganti agama untuk memeluk Agama Islam.
Namun, tidak semua
orang Jawa mau masuk untuk memeluk Agama Islam. Walaupun telah memeluk Agama
Islam, namun tidak sepenuhnya menjalan Syariatnya, hanya sebatas karena takut
pada hukuman raja saja.
Sehingga Agama Islam
yang dianut hanya sebatas luar atau di lahir saja. Dalam jiwa dan batin mereka,
masih tetap beragama Hindu.
Sehingga Ilmu Samadhi
masih tetap dijalankan, hanya saja dengan cara sembunyi-sembunyi, dan dilakukan
pada malam hari di atas jam 12 malam.
Sedangkan tempat
untuk bertapa di tempat yang tidak terhalang apapun, yaitu di tempat terbuka
yang luas, seperti di dalam hutan, di sungai dan sebagainya, asal saja tempat
yang benar-benar sepi.
Diajarkan dengan cara
bisikan, tidak boleh terdengar oleh siapapun, walaupun oleh dedaunan, rumput,
hewan dan juga hewan kecil yang merayap di tanah juga tidak boleh mendengar.
Jika ikut mendengar
maka mereka yang mendengar akan berubah menjadi manusia. Sehingga diajarkan
dengan cara, Guru duduk berhadapan dengan cara beradu dahi dengan murid, dan
guru berpesan bahwa apa yang diajarkan tidak boleh diberitahukan kepada
siapapun juga, tanpa ijin dari sang guru.
Jika di langgar, maka
sang murid akan mendapat celaka karena akan mendapat hukuman dari Tuhan.
Cara yang demikian
bertujuan agar ajaran Ilmu Samadhi (Yoga) tidak bisa di ketahui oleh Pemerintah
yang berpedoman pada ajaran Agama Islam, sebab apabila sampai ketahuan, akan
mendapat hukuman yang sangat berat.
Sampai dengan jaman sekarang, walaupun negara
sudah tidak melarang dengan adanya Ilmu Samadhi (yoga), namun cara menyebar
luaskan ajaran tersebut, masih tetp sama dengan cara sembunyi-sembunyi seperti
di jelaskan di atas.
Sehingga mendapat
julukan oleh orang yang tidak suka ajaran tersebut, atau oleh orang yang
beragama Islam, bahwa ajaran Ilmu Samadhi (yoga) tersebut disebut Ilmu Klenik.
Berasal dari kata “Klenik” sehingga di tanah Jawa ada sebutan “Abangan” dan
“Putihan” (merah dan putih).
Yang diberi julukan
“Abangan” adalah orang jawa Islam yang tidak menjalankan Syariat Agama Islam,
sedangkan “Putihan” adalah sebutan bagi orang jawa yang menjalankan sepenuhnya
Syariat Agama Islam, disebut Santri.
Sehingga Santri
disebut juga “Putihan” sebab pada umumnya pakaian yang digunakan oleh Santri yang
ber Agama Islam, itu lebih bersih di banding dengan orang Jawa yang tidak ber
Agama Islam.
Kembali kepada Ilmu
Samadhi (yoga), bahwa disebut Ilmu Rahasia di karenakan seperti keterangan
tersebut di atas.
Sedangkan yang
sesungguhnya nama Ajaran Rahasia itu, sebetulnya tidak ada. Sehinga boleh-boleh
saja di ajarkan kepada siapa saja, baik kepada yang muda atau juga kepada yang
sudah berumur tua, dan juga boleh diajarkan sewaktu-waktu kapan saja, apabila
ada seseorang yang benar-benar sangat membutuhkan Ilmu Samadhi (Yoga) tersebut.
Sebab, tata cara yang
demikian itu, agar ajaran tersebut bisa diketahui oleh orang banyak,
lebih-lebih bahwa Ilmu Samadhi (Yoga) tersebut ternyata menjadi pemuka dari
semua Ilmu,
sehingga wajib
disebar luaskan agar menjadi pengetahuan bagi generasi muda ataupun juga yang
sudah tua, tanpa melihat tinggi rendah dari martabat dan derajat seseorang.
Tibalah pada suatu masa, ada cerita kejadian
yang tidak di sangka-sangka, di belakang hari Ilmu Samadhi (Yoga) tersebut bisa
di terima oleh orang Islam,
sebab mereka percaya
bahwa Ilmu Samadhi (Yoga) tersbut, memang benar sebagai puncak ilmu yang bisa
menghantarkan kepada keselamatan, kehormatan, ketenteraman dan sebagainya.
Sehingga Ilmu Samadhi
(yoga) tersebut oleh se orang yang telah terbuka pintu hatinya dengan
kebenaran, yang bernama “Shech Sitijenar” atau Syech Lemah Abang, yang nama
aslinya “San Ali Ansar” ada juga yang menyebut “Kasan Ali Ansar”,
Yang kedudukan
tingkat ilmunya juga sebagai Pemuka Agama setingkat Wali, kemudian digubah oleh
nya di kitab buatannya yang disebut “Daim”, mengambil dari asal kata “Daiwan” ,
Yang kemudian
digunakan sebagai tata cara dalam melakukan ibadah, dengan cara dirobah susunan
katanya, menjadi : “Sholat Daim” (Sholat yang tiada terputus).
Sehingga oleh ajaran
Syech Sitijenar Sholat terbagi menjadi dua, yaitu Sholat 5 waktu, disebut
Sholat Syariat, Sholat lahir. Yang ke dua Sholat Daim.
Sholat ini adalah Sholat di dalam batin, mengandung
maksud juga menyatukan rasa diri pribadi dengan Tuhan atau dalam Bahasa Jawa
disebut “Manunggaling Kawula Gusti”, atau “Loroning Atunggal” (Dua menjadi
satu).
Kitab buatan Syech
Sitijenar kemudian digunakan sebagai pedoman dalam ajaran tersebut.
Setelah berhasil
mendapat perhatian oleh orang banyak, di situ Sholat 5 waktu dan Syariat Agama
Islam oleh pengikut Syech Sitijenar, ajaran nya banyak yang ditinggalkan
ataupun tidak di ajarkan lagi.
Perhatian para
penyebar Ilmu murid Syech Sitijenar hanya mengajarkan Sholat Daim saja.
Sehingga orang jawa yang semula sudah memeluk Agama Islam terlebih lagi yang
belum, semua condong dan berguru kepada Syech Sitijenar, sebab ajarannya lebih
mudah, terang dan nyata.
Sedangkan Ilmu
Samadhi yang dikembangkan oleh Syech Sitijenar berasal dari Kyai Ageng
Pengging, sebab Syech Sitijenar adalah masih saudara dari Kyai Ageng Penging.
Ilmu Samadhi (Yoga)
oleh Syech Sitijenar diajarkan kepada “Raden Watiswara” juga bernama “Pangeran
Panggung”, yang juga dia mempunyai derajat Wali.
Kemudian diajarkan
kepada “Sunan Geseng”, yang juga bernama “Ki Cakrajaya” yang berasal dari
daerah “Pagelen”.
yang dalam cerita
ketika dia belum menjadi Wali, mempunyai pekerjaan “nderes” mengambil air sari
bunga pohon kelapa untuk dibuat menjadi Gula Kelapa. Kemudian olehnya diajarkan
kepada orang banyak .
Demikian juga para
sahabat Syech Sitijenar yang telah terbuka hatinya oleh ajaran Syech Sitijenar
disuruh mendirikan perguruan untuk menyebarkan Ilmu Samadhi tersebut.
Semakin lama semakin
banyak dan berkembang, sehingga berhasil menyaingi bahkan melemahkan kekuasan
Wali yang lain dalam hal menyebarkan
Ilmu Agama Islam, sehingga banyak masjid yang kosong.
Untuk menanggulangi
keadaan yang demikian agar tidak semakin berkembang luas, maka Kyai Ageng
Pengging dan juga Syech Sitijenar beserta pengikutnya semuanya di hukum pancung
oleh para Wali yang mendapat perintah dari Sultan Demak.
Demikian juga
Pangeran Panggung tidak ketinggalan pula, di hukum dengan cara dibakar di
tengah alun-alun Demak, untuk dijadikan contoh agar supaya orang-orang dan para
pengikutnya menjadi takut, dengan harapan supaya bersedia meninggal ajaran
Syech Sitijenar.
Dalam cerita
tersebut, tubuh Pangeran Panggung tidak bisa terbakar api, kemudian dia keluar
dari dalam api dan meninggalkan kerajaan Demak.
Ada salah satu kisah
cerita bahwa, pada saat Pangeran Panggung sedang berada di dalam api, Pangerang
panggung mengarang Kitab yang diberi nama “Suluk Malang Sumirang”. 20 Bait
Tembang Macapat yang termuat di dilam buku "Suluk Walisana" Karangan
Sunan Giri ke II (Jenis lagu Jawa).
Sebelum meninggalkan
Demak, buku itu diserahkan kepada Raja Demak. Dan pada saat Pangeran Panggung
pergi meninggalkan api, Sultan Bintara dan para punggawa kerajaan, beserta para
Wali, kalah wibawa oleh kesaktian Pangeran Panggung, sehingga termangu dan
tidak bisa berbuat apa-apa bagaikan tersihir.
Setelah Pangeran
Panggung pergi jauh, barulah Sultan Demak dan para Wali sadar bahwa Pangeran
Panggung selamat dari hukuman bakar.
Sehingga mereka
merasa kalah oleh kesaktian Pangeran Panggung, yang mendapat Anugrah kasih
sayang dari Tuhan.
Kemudian datang
Punggawa kerajaan melapor bahwa Sunan Geseng atau Cakrajaya pergi juga menyusul
langkah Pangeran Panggung.
Kemudian setelah
sadar, barulah muncul kemarahan Sultan Demak, sehingga kemudian menyuruh
prajuritnya untuk membunuh sahabat dan semua murid Syech Sitijenar yang telah
berhasil ditangkap, sedangkan yang tidak tertangkap melarikan diri mencari
selamat.
Para sahabat dan murid
Syech Sitijenar yang masih hidup di dalam pelariannya, kemudian mendirikan
Perguruan dan terus melestarikan ajaran “Ilmu Samadhi”, namun dengan cara
ditutupi dengan ajaran Syariat Islam seperti pada umumnya,
Agar tidak di ganggu
ataupun dilarang oleh para Wali pembela Kerajaan Demak. Sedangkan isi
ajarannya, sebagai berikut :
Cara pengajaran Ilmu
Samadhi yang kemudian disebut Sholat Daim dibarengi dengan pengajaran Sholat 5
waktu, juga rukun Islam lainnya.
Ajaran Sholat Daim
kemudian diberi nama Naksobandiyah, sedangkan isi ajaran diberi nama “Tafakur”.
Cara yang lain, tata
cara dalam cara mengajarkan ilmu tersebut,
sebelum para murid diberi ajaran Sholat Daim, terlebih dahulu para murid
dilatih menjalankan beberapa macam jenis dzikir dan juga membaca ayat-ayat
suci.
1.
Ilmu
Samadhi yang sesuai dengan ajaran yang diajarkan oleh para murid Syech
Sitijenar yang ditutupi atau oleh ajaran Rukun Islam.
Ajaran tersebut pada
jaman selanjutnya mengalami perubahan karena tidak sesuai lagi dengan ajaran
pada awal ilmu itu ada.
Sehingga para guru
pada jaman sekarang dalam menyampaikan pengajaran Ilmu Samadhi, yang telah
berganti nama menjadi Naksobandiyah dan juga Satariyah, mengira bahwa ilmu tersebut
perasal dari Jabalkuber atau Mekah, walaupun Ajaran Naksobandiyah dan Satariyah
yang asli itu ada, dan cara pengajarannya tidak sama seperti tersebut di atas.
Sehingga para Kyai
guru Agama Islam, memberi julukan Guru Klenik kepada para guru yang mengajarkan
Ilmu Samadhi yang berpedoman pada ajaran Jawa yang bersumber dari ajaran Syech
Sitijenar, dan Para Kyai Guru tersebut memberi julukan nama “Kiniyai” mengandung
maksud Guru yang mengajarkan ilmu setan.
Sedangkan sebutan
Kyai adalah hanya untuk guru yang mengajarkan Ilmu Nabi.
2.
Ajaran
Ilmu Samadhi cara Jawa, yang bersumber dari Kyai Ageng Pengging yang
dikembangkan oleh Syech Sitijenar (jaman sekarang diberi julukan klenik),
tersebut yang pada awalnya berdasar pada 5
pedoman, sebagaimana berikut :
2.1.
Setya
tuhu; sangat bersungguh-sungguh dan
jujur.
2.2.
Santosa;
berbuat adil, tanggung jawab tidak berbuat semaunya sendiri.
2.3.
Benar
dalam semua pekerjaan; Sabar; kasih sayang pada sesama, tidak mengunggulkan
dirinya sendiri, tidak berwatak kejam.
2.4.
Pinter
saliring kawruh, Pandai dalam banyak ilmu, terlebih lagi pandai menjaga
perasaan sesama, serta bisa mengendalikan nafsu amarah dalam diri, tidak
serakah terhadap harta benda.
2.5.
Susila
anor – raga, Selalu bersikap sopan santun, serta bersikap yang bisa
menyenangkan orang lain dan juga indah dalam berkata-kata apalagi terhadap
orang yang sedang menderita kesusahan.
Tindakan 5 macam tersebut harus dilakukan
bersama saat ketika menjalankan Samadhi, yaitu mengendalikan Cipta
mengheningkan cipta.
Oleh karena itu
menurut ajaran Jawa, tentang Ilmu Samadhi dan juga 5 macam tindakan tersebut di
atas, akan diajarkan kepada semua anak muda atau orang tua tidak memandang
tinggi rendahnya kelas dalam masyarakat.
Sebab inti ilmu dan
tinggi tingkatan ilmu seseorang apabila tetap dalam menjalankan Samadhi, dan mampu menjalan 5 ajaran tersebut
di atas, maka manusia akan mendapatkan ketentraman, sedangkan dengan adanya
ketentraman menyebabkan hidup merdeka dalam rasa.
Jika tidak demikian,
sampai dengan akhir jaman, seseorang akan mengalami nasib sengsara, tergilas
oleh roda jaman, sebab rusak hati nurani diri.
Tentang Ilmu Samadhi
yang diberi nama Ajaran Naksobandiyah dan Satariyah, yang berasal dari Syech
Sitijenar, telah dijelaskan di muka, namun tata caranya tidak dijelaskan.
Di sini hanya akan
menjelaskan tata cara melakukan Samadhi cara Jawa, sebelum tercampur dengan
Agama lain, sebagai berikut :
Semoga para pembaca
tidak salah terima, bahwa Samadhi itu, akan menghilangkan rasa hidup manusia
atau pun akan mengeluarkan ruh dari badan.
Pemahaman yang
demikian, berasal dari pemahaman yang terkandung dalam cerita “Sri Kresna” raja
Dwarawati, atau “Arjuna” yang sedang menjalankan “Raga Sukma”. Agar diketahui
di sini, bahwa cerita demikian hanya sebatas ibarat saja.
Tata cara Samadhi
Jawa adalah sebagai berikut :
Kata Samadhi = Satu
rasa = memusatkan rasa = rasa jati = rasa ketika rasa belum bekerja. Sedangkan
berjalannya rasa disebabkan oleh hasil pengalaman-pengalaman yang diterima atau
kejadian-kejadian yang di terima dalam hidup sehari-hari. Itulah kerja rasa
yang disebut berfikir.
Berasal dari kekuatan
ilmu, pengalaman, dan peristiwa hidup sehari-hari, sehinga Pikiran manusia bisa
menganggap baik dan buruk, yang bisa menjadi penyebab Tata cara, tindakan,
sikap, dan sebagainya, yang kemudian akan menjadi kebiasaan.
Sedangkan anggapan
tentang baik dan buruk, yang telah menjadi kebiasaan tersebut, apa bila buruk
memang benar-benar buruk, dan apabila biak, memang benar-benar baik, itu
sebetulnya belum tentu benar.
Hal ini karena hanya
disebabkan oleh kebiasaan cara berfikir saja, atau anggapan diri sendiri saja.
Anggapan yang demikian, tidak mesti benar, tetap hanya sebatas kebiasaan tata
cara berfikir saja, sehingga hal itu bukan yang sebenarnya.
Sedangkan maksud dan
tujuan Samadhi, adalah bertujuan untuk mengetahui dan memahami kenyataan yang
sebenar-benarnya (Kajaten).
Sedang tata cara nya
adalah dengan memahami dan menghilangkan segala anggapan dari kekuatan daya
pikir sendiri, disebut hilangnya tempat dan tulisan (Sirnaning papan lan
tulis).
Setelah berhasil
menguasai daya pikir yang demikian, maka itu ujud rasa yang sesungguhnya rasa
(rasa jati) yang bisa mengetahui segala sesuatu tanpa petunjuk (Dalam bahasa
Jawa disebut "Tanpa Tinulis bisa dibaca").
Sedangkan hal
demikian akan bisa dicapai dengan cara menghentikan segala pengaruh gerak
pikiran, dengan cara mengendalikan segala gerak anggota badan.
Mengendalikan
pengaruh dari gerakan badan yang paling
maksimal adalah dengan cara tidur terlentang, tangan bersedakep melipat
kedua tangan atau kedua tangan diluruskan,
kedua telapak tangan
ditempelkan di kedua paha kanan dan kiri, kaki diluruskan, telapak kaki yang
kanan di atas telapak kaki kiri, sikap yang demikian disebut “Sidakep saluku
tunggal”, (Bersidakep berkaki satu). Dan juga memusatkan pandangan atau
menghentikan gerak mata.
Tindakan demikian
disebut “Meleng” (Memusatkan mata). Sikap demikian akan bisa mengendalikan
gerak pikiran, serta mengendalikan gerak rasa, sedangkan pusat titik mata di
arahkan dan di pusatkan memandang ujung hidung dengan menyatukan dua titik
pandangan mata menjadi satu, dengan cara memejamkan kedua mata.
Langkah selanjutnya
adalah menata keluar masuknya nafas, dengan cara mengendalikan jalannya nafa.
Dimulai nafas
berjalan dari puser perut, di tarik ke atas melewati pangkal mulut Cethak) terus di naikan ke atas hingga masuk
ke dalam otak, kemudian di tahan semampunya di dalam otak.
Dalam melakukan
tarikan nafas yang demikian, dilakukan sampai dengan badan merasa tidak punya
daya kekuatan untuk mengangkat apapun, sedangkan yang di kendalikan adalah jalannya
rasa.
Apabila telah terasa
berat dalam menahan nafas, kemudian nafas dilepaskan dengan perlahan-lahan.
Sikap yang demikian yang disebut Sastracetha. Arti dari “Cetha” = penempatan
ilmu, “Cetha” = Suara Cethak (pangkal mulut) yang berat.
Disebut demikian,
sebab ketika sedang melakukan tarikan nafas dari pusat perut melewati dada
terus naik melewati cethak (pangkal mulut) sampai masuk ke pusat otak.
Apabila jalan nya
pernafasan tidak di kendalikan, maka nafas hanya akan mengikuti jalan nafas
sendiri saja, cara nafas yang demikian tidak akan sampai naik masuk ke dalam
otak, sebab nafas baru sampai di pangkal mulut (cethak) akan turun kembali dan
keluar lagi.
Langkah demikian
disebut juga “Daiwan” (dawan), maksudnya : Mengendalikan perjalan nafas yang
panjang dan dengan tenang, dengan mengucapkan mantra di dalam batin, yaitu yang
berbunyi “Hu” bersama dengan masuknya nafas, yang berjalan dari puser, cethak
sampai ke pusat otak.
Kemudian mengucapkan
“ya” bersama sama saat melepaskan nafas yang berjalan dari pusat otak – cetahk
– sampai ke perut. Naik dan turun nya perjalanan nafas akan selalu melewati
dada dan cethak.
Hal demikian disebut
“Sastracetha” sebab, ketika mengucapkan mantra sastra dua macam : Hu – ya, yang
hanya di batin saja, akan terasa di dalam cethak (pangkal mulut). (Mantra dua
macam tersebut,
Hu dan Ya, di dalam
ajaran Naksobandiyah dirubah menjadi berbunyi : Hu – Allah, menyebutnya juga
bersamaan dengan perjalanan nafas. Sedangkan dalam ajaran Satariyah sebutan
tersebut , menjadi : Ha ilah Ha illalloh, namun tidak digabung dengan
pernafasan).
(Sedikit tambahan
penyunting : Pada saat melakukan pernafasan demikian, usahakan mengendurkan
urat wajah se rilex-rilex nya atau sesantai mungkin, dibarengi seolah-olah
tersenyum, dan mengendurkan urat otak se santai santainya, dan yang
terpenting...
Jangan dibarengi
menelan ludah – penyunting hanya sebatas belajar yoga dan sangat bermanfaat
ketika sedang menghadapi problim kehidupan).
Kebiasaan yang biasa
terjadi, dalam melakukan pernafasan dengan cara demikian, dalam satu angkatan
bernafas hanya mampu mengulang sebanyak 3 kali pernafasan, biasanya sudah
terengah-engah.
Apabila sudah tenang,
maka di ulang lagi. Tindakan demikian dilakukan berulang-ulang, hingga jika
semakin lama dan makin banyak dilakukan, akan semakin baik.
Sedangkan dalam satu
kali angkatan tindakan yang demikian disebut : “Tri pandurat” yang artinya
“Tri” = tiga; “Pandu” = suci; “Rat” = Dunia = tubuh = tempat, yang bermakna
juga : Tiga kali tarikan nafas, maka itu berarti telah bisa sampai di hadapan
Yang Maha Suci yang bertempat di dalam otak (Susuhunan = yang di suwun) tempat
permohonan.
Yaitu yang disebut
“Kawula Gusti”, maksudnya : Ketika kita menarik nafas , kita sebagai ibarat
Gusti (Tuhan); dan ketika melepas nafas, kita kembali sebagai “Kawula”
(makhluk). Hal yang demikian, diharapkan para pembaca tidak salah menafsirkan.
Bahwa yang disebut
“Kawula Gusti” (Makhluk dan Tuhan), itu bukan nafas kita, namun hanya daya
kekuatan dari pikiran dan cipta kita.
Sehingga, dalam inti
melakukan Samadhi adalah kita harus dengan cara memanjangkan masuk dan
keluarnya nafas, dengan menjernihkan penglihatan, sebab penglihatan adalah
terjadi dari pengaruh rasa.
Sedangkan sikap
Samadhi, seperti yang telah di jelaskan di atas, juga bisa dengan jalan di
percepat, asal dilakukan dengan cara tidak terputus dalam mengendalikan
jalannya pernafasan,
Bisa dilakukan pada
saat duduk, berjalan ataupun pada saat bekerja, juga sebaiknya dalam melakukan
pernafasan dengan cara tersebut, dengan jalan mengucapkan mantra yang berbunyi
: “Hu –Ya” seperti dijelaskan sebelumnya...ataupun juga bisa diganti sesuai
dengan keyakinan nya masing-masing.
Selain itu, berdasar
kata daiwan, juga masih mempunyai arti yang lain, yaitu panjang tidak berujung
atau bermakna langgeng, yang mempunyai maksud bahwa nafas kita adalah sebagai
tanda hidup tiap diri pribadi.
Sedangkan bahwa nafas
itu ada, ditandai dengan adanya keluar dan masuk nya angin tanpa berhenti, yang
bersamaan juga dengan berjalannya detak jantung yang seiring juga dengan
perjalanan peredaran darah (Ruh).
Bahwa, apabila
keduanya berhenti tidak bekerja, maka disebut meninggal dunia, yaitu rusaknya
jasad manusia yang akan kembali kepada asalnya. Sehingga sebaiknya, dalam
bernafas diusahakan dipanjangkan juga, agar umur kita bisa panjang untuk hidup
di dunia.
Dengan adanya uraian
di atas, menunjukan bahwa Ilmu Samadhi, ternyata besar manfaatnya, sehingga
disebut juga “Sastrajendrayuningrat Pangruwating Diyu”. Artinya : “Sastra” =
Ilmu; “Jendra” = berasal dari kata Harja dan Endra. Artinya “Harja” = bahagia;
“Endra” = Raja; “Yu” = Selamat; “Ningrat” = Dunia = tempat = Badan, mengandung
maksud : Mustika dari ilmu yang bisa menyebabkan keselamatan hidup, kebahagia
an hidup, ketenangan hidup, dan lain sebagainya. Sedangkan makna dari
“Pangruwating Diyu” = menghancurkan diyu; sedangkan “Diyu” = Raksasa, Denawa,
Asura, sebagai lambang dari Kejahatan, penyakit, kotoran, Bahaya, pikiran
gelap, kebodohan, dan sebagainya.
Sehingga sifat Diyu
itu berlawanan dengan Tuhan, yaitu : Pandai, Indah, Selamat, dan sebagainya.
Mengandung maksud juga bahwa, bagi siapa saja yang bisa mengalahkan segala
kejahatan dan segala penghalang hidup.
Artinya, bagi siapa
saja yang selalu menjalankan Samadhi yang tiada henti, maka apabila dilakukan
oleh manusia jahat, akan hilang sifat jahatnya dan akan berubah menjadi orang
baik. Orang yang sedang sakit, akan hilang sakitnya.
Orang angkara murka,
orang kejam, akan menjadi orang yang sabar, menerima apa adanya, dan jadi orang
yang penyayang. Jika dilakukan oleh pembohong, akan berubah menjadi orang
jujur, Bodo akan menjadi pinter, dan sebagainya.
Bisa juga untuk
menghilangkan, segala macam bencana dan segala rencana jahat, bahaya dan
halangan apapun, yang tumbuh dari kegelapan jiwa diri pribadi, semuanya akan
hilang musnah “Lebur dening pangastuti” karena menjalankan ulah Samadhi.
Demikian juga bisa
membentengi diri dari serangan bahaya yang berasal dari perbuatan orang lain,
dan juga makhluk lainnya, baik yang berupa hewan yang jahat atau juga makhluk
halus yang jahat, akan musnah terbakar dari kewibawaan ahli Samadhi.
Harapan penyunting,
bahwa akan lebih sempurna apabila menjalankan ajaran kebaikan dari teori yang
di dapat dari luar diri apabila diimbangi dengan keadaan sucinya hati karena
ulah Samadhi, yang dilakukan dengan olah rasa, tafakur dan Samadhi apabila
melakukan ajaran kebaikan, akan semakin sempurna dan tidak kaku.
Karena bukan hanya
berdasar teori dalam Ilmu Syariat saja, tapi juga dengan olah rasa sehingga
kebenaran mutlak akan menjadi pedoman dalam segala tindak perbuatan dirinya.
0 Response to "CARA MEMPELAJARI RAHASIA ILMU JAWA"
Posting Komentar