Disebut juga “AJI
PAMELENG”; yang bermakna “Aji” = Ratu; “Pameleng” = Konsentrasi = Tapa –
Bertapa - Samadhi, mengandung maksud, sebuah niat yang paling utama untuk
bertapa atau Samadhi.
Bertapa – Samadhi,
disebut juga : Manekung, Tafakur, Pubarata, Mengendalikan Budi, mengendalikan
cipta, menenangkan raga, yoga, dan sebagainya.
Tempat untuk
menjalankan hal tersebut, dinamakan Pertapan, Pamurcitan, Pamursitan, dan lain
sebagainya.
Sedangkan teorinya
disebut “Daiwan”, dawan, tirta amerta, tirta kamandhanu, tirta nirmala,
mahosadi, kawasanan, kawaspadan, kawicaksanan, sastra cetha, ataupun
Sastrajendrayuningrat Pengruwating Diyu, dan lain sebagainya.
Sedangkan manfaat
ilmu Samadhi dan tindakan yang demikian, digunakan sebagai sarana
menyempurnakan dalam menjalankan Ibadah, agar mendapatkan keselamatan hidup,
Sebab bisa sebagai
sarana untuk bisa melakukan tindak laku utama dengan sempurna, dan juga bisa
digunakan sebagai sarana ketika diri ada hajat keperluan yang sangat penting
untuk memohon anugrah hidup kepada Tuhan Yang Maha Murah.
Sedangkan mengapa di
dunia ada ilmu tata cara bertapa (Yoga) Samadhi yang demikian, menurut dari
kata-kata tersebut, ternyata banyak yang berasal dari Bahasa Sansekerta.
Dengan demikian
terbukti bahwa Ilmu Samadhi, berasal dari ilmu para pertapa (Yogi) dari Hindu
India pada jaman dahulu.
Barangkali saja
bersamaan dengan ketika Bangsa Hindu membuat Candi-candi dan patung-patung pada
saat itu.
Awal mula ilmu
tersebut, hanya untuk bangsa Hindu, tidak terkecuali Bangsa Hindu yang beragama
apa saja akan bisa melakukan Samadhi.
Sebab hanyalah Ilmu
Samadhi (Tafakur) ini saja yang menjadi pembuka ilmu di seluruh dunia, dan juga
menjadi ujung tombak dalam Ilmu Agama.
Lama-kelamaan Bangsa
Hindu merantau ke Tanah Jawa dan ke berbagai negara lain, serta juga
mengajarkan Agama dan ilmu yang dianutnya.
Demikian Juga Ilmu
Samadhi juga tidak ketinggalan. Imu Samadhi di Tanah Jawa bisa berkembang
dengan subur, sebab masyarakat Jawa tidak pilih-pilih ilmu, dan juga orang Jawa
senang berguru dan bisa menjalankan dengan sempurna ilmu apa saja yang masuk ke
Tanah Jawa.
Sebab ilmu yang
demikian bisa selaras dengan dasar jiwa orang Jawa, sehingga orang jawa dengan
mudahnya bisa menerima ilmu tersebut.
Ditambah juga dengan
banyak nya orang Hindu yang pergi ke tanah Jawa, dengan tujuan berdagang,
menyebarkan Agama dan juga ilmu bijaknya. Sekejab saja hampir semua orang Jawa
di masa itu, memeluk Agama Hindu.
Kemudian disusul
dengan datangnya Bangsa Arab ke tanah Jawa, yang juga dengan membawa Ilmu dan
Agama Nabi Muhammad, saw.
Yaitu Agama Islam,
sehingga sedikit mengurangi perkembangan Agama Hindu, sebab, banyak juga orang
Jawa yang memeluk Agama Islam. Hanya saja, Agama Islam tidak punya Ilmu
Samadhi, sebagaimana tersebut di atas.
Ketika Islam telah
berkuasa dengan berhasil mendirikan Kerajaan Demak (Bintara), kemudian Negara
melarang orang Jawa untuk menyebar luaskan Ilmu Samadhi, demikian juga dipaksa
berganti agama untuk memeluk Agama Islam.
Namun, tidak semua
orang Jawa mau masuk untuk memeluk Agama Islam. Walaupun telah memeluk Agama
Islam, namun tidak sepenuhnya menjalan Syariatnya, hanya sebatas karena takut
pada hukuman raja saja.
Sehingga Agama Islam
yang dianut hanya sebatas luar atau di lahir saja. Dalam jiwa dan batin mereka,
masih tetap beragama Hindu.
Sehingga Ilmu Samadhi
masih tetap dijalankan, hanya saja dengan cara sembunyi-sembunyi, dan dilakukan
pada malam hari di atas jam 12 malam.
Sedangkan tempat
untuk bertapa di tempat yang tidak terhalang apapun, yaitu di tempat terbuka
yang luas, seperti di dalam hutan, di sungai dan sebagainya, asal saja tempat
yang benar-benar sepi.
Diajarkan dengan cara
bisikan, tidak boleh terdengar oleh siapapun, walaupun oleh dedaunan, rumput,
hewan dan juga hewan kecil yang merayap di tanah juga tidak boleh mendengar.
Jika ikut mendengar
maka mereka yang mendengar akan berubah menjadi manusia. Sehingga diajarkan
dengan cara, Guru duduk berhadapan dengan cara beradu dahi dengan murid, dan
guru berpesan bahwa apa yang diajarkan tidak boleh diberitahukan kepada
siapapun juga, tanpa ijin dari sang guru.
Jika di langgar, maka
sang murid akan mendapat celaka karena akan mendapat hukuman dari Tuhan.
Cara yang demikian
bertujuan agar ajaran Ilmu Samadhi (Yoga) tidak bisa di ketahui oleh Pemerintah
yang berpedoman pada ajaran Agama Islam, sebab apabila sampai ketahuan, akan
mendapat hukuman yang sangat berat.
Sampai dengan jaman sekarang, walaupun negara
sudah tidak melarang dengan adanya Ilmu Samadhi (yoga), namun cara menyebar
luaskan ajaran tersebut, masih tetp sama dengan cara sembunyi-sembunyi seperti
di jelaskan di atas.
Sehingga mendapat
julukan oleh orang yang tidak suka ajaran tersebut, atau oleh orang yang
beragama Islam, bahwa ajaran Ilmu Samadhi (yoga) tersebut disebut Ilmu Klenik.
Berasal dari kata “Klenik” sehingga di tanah Jawa ada sebutan “Abangan” dan
“Putihan” (merah dan putih).
Yang diberi julukan
“Abangan” adalah orang jawa Islam yang tidak menjalankan Syariat Agama Islam,
sedangkan “Putihan” adalah sebutan bagi orang jawa yang menjalankan sepenuhnya
Syariat Agama Islam, disebut Santri.
Sehingga Santri
disebut juga “Putihan” sebab pada umumnya pakaian yang digunakan oleh Santri yang
ber Agama Islam, itu lebih bersih di banding dengan orang Jawa yang tidak ber
Agama Islam.
Kembali kepada Ilmu
Samadhi (yoga), bahwa disebut Ilmu Rahasia di karenakan seperti keterangan
tersebut di atas.
Sedangkan yang
sesungguhnya nama Ajaran Rahasia itu, sebetulnya tidak ada. Sehinga boleh-boleh
saja di ajarkan kepada siapa saja, baik kepada yang muda atau juga kepada yang
sudah berumur tua, dan juga boleh diajarkan sewaktu-waktu kapan saja, apabila
ada seseorang yang benar-benar sangat membutuhkan Ilmu Samadhi (Yoga) tersebut.
Sebab, tata cara yang
demikian itu, agar ajaran tersebut bisa diketahui oleh orang banyak,
lebih-lebih bahwa Ilmu Samadhi (Yoga) tersebut ternyata menjadi pemuka dari
semua Ilmu,
sehingga wajib
disebar luaskan agar menjadi pengetahuan bagi generasi muda ataupun juga yang
sudah tua, tanpa melihat tinggi rendah dari martabat dan derajat seseorang.
Samadhi/Yoga/Bertapa
Syech Sitijenar
Tibalah pada suatu
masa, ada cerita kejadian yang tidak di sangka-sangka, di belakang hari Ilmu
Samadhi (Yoga) tersebut bisa di terima oleh orang Islam,
sebab mereka percaya
bahwa Ilmu Samadhi (Yoga) tersbut, memang benar sebagai puncak ilmu yang bisa
menghantarkan kepada keselamatan, kehormatan, ketenteraman dan sebagainya.
Sehingga Ilmu Samadhi
(yoga) tersebut oleh se orang yang telah terbuka pintu hatinya dengan
kebenaran, yang bernama “Shech Sitijenar” atau Syech Lemah Abang, yang nama
aslinya “San Ali Ansar” ada juga yang menyebut “Kasan Ali Ansar”,
Yang kedudukan
tingkat ilmunya juga sebagai Pemuka Agama setingkat Wali, kemudian digubah oleh
nya di kitab buatannya yang disebut “Daim”, mengambil dari asal kata “Daiwan” ,
Yang kemudian
digunakan sebagai tata cara dalam melakukan ibadah, dengan cara dirobah susunan
katanya, menjadi : “Sholat Daim” (Sholat yang tiada terputus).
Sehingga oleh ajaran
Syech Sitijenar Sholat terbagi menjadi dua, yaitu Sholat 5 waktu, disebut
Sholat Syariat, Sholat lahir. Yang ke dua Sholat Daim.
Sholat ini adalah Sholat di dalam batin, mengandung
maksud juga menyatukan rasa diri pribadi dengan Tuhan atau dalam Bahasa Jawa
disebut “Manunggaling Kawula Gusti”, atau “Loroning Atunggal” (Dua menjadi
satu).
Kitab buatan Syech
Sitijenar kemudian digunakan sebagai pedoman dalam ajaran tersebut.
Setelah berhasil
mendapat perhatian oleh orang banyak, di situ Sholat 5 waktu dan Syariat Agama
Islam oleh pengikut Syech Sitijenar, ajaran nya banyak yang ditinggalkan
ataupun tidak di ajarkan lagi.
Perhatian para
penyebar Ilmu murid Syech Sitijenar hanya mengajarkan Sholat Daim saja.
Sehingga orang jawa yang semula sudah memeluk Agama Islam terlebih lagi yang
belum, semua condong dan berguru kepada Syech Sitijenar, sebab ajarannya lebih
mudah, terang dan nyata.
Sedangkan Ilmu
Samadhi yang dikembangkan oleh Syech Sitijenar berasal dari Kyai Ageng
Pengging, sebab Syech Sitijenar adalah masih saudara dari Kyai Ageng Penging.
Ilmu Samadhi (Yoga)
oleh Syech Sitijenar diajarkan kepada “Raden Watiswara” juga bernama “Pangeran
Panggung”, yang juga dia mempunyai derajat Wali.
Kemudian diajarkan
kepada “Sunan Geseng”, yang juga bernama “Ki Cakrajaya” yang berasal dari
daerah “Pagelen”.
yang dalam cerita
ketika dia belum menjadi Wali, mempunyai pekerjaan “nderes” mengambil air sari
bunga pohon kelapa untuk dibuat menjadi Gula Kelapa. Kemudian olehnya diajarkan
kepada orang banyak .
0 Response to "Sejarah Arti Kata Bertapa/Samadhi"
Posting Komentar